Ken Padmi going On-Line

Ken Padmi is On Facebook?
TELAAAAT!!!.
Suara latar sumbang nada dan makna seperti ini, dari mana lagi datangnya kalau bukan dari tukang-tukang komputer usil yang merasa diri berada di garda terdepan peradaban nihilistik yang mereka sebut modernisme. (Where the hell are thoose cynical remarks come from? Richard, aku denger lho!! my beloved brothers and sisters di software house, peace bro! “house” sebenarnya terlalu mewah ya? Mungkin barn atau cabin?) Telat, karena facebook sudah berabad-abad ada. Telat, karena sebelum aku sudah jutaan orang menggunakannya. Tetapi apa iya, telat nggak telat hanya bisa diukur dengan aliran waktu atau urutan sekuensial sesudah-sebelum? Kalau kita sedang berdiri termangu-mangu di halte, bis mana yang harus kita naiki? Yang lebih dahulu datang dan diserbu banyak orang, atau yang sesuai dengan tujuan kita, meskipun datang belakangan? (Ingat iklan operator telepon seluler di tivi: Si Agus yang iseng nelpon ke Amerika hanya karena dia bisa melakukannya?) Bagiku, telat nggak telat bukan hanya masalah waktu, tapi masalah fungsi. Manfaat dan maslahat.
Teman-temanku ngaji, mungkin sependapat soal manfaat dan maslahat. Tapi soal facebook, apalagi setelah ada fatwa beberapa ulama itu, mereka juga mengumandangkan koor yang nggak kompak (beda nada dan nggak semuanya bersuara), “HARAAAMM!!!! Faktanya, ada yang menggunakan facebook sebagai lahan maksiat. Ada yang memanfaatkannya untuk menyebar fitnah. Ada yang kecanduan sampai lupa kewajiban. Tapi apa ya pisau jadi haram karena ada yang menggunakannya untuk menikam? Atau obat nyamuk jadi nggak halal lagi karena ada yang menenggaknya untuk bunuh diri?
Selain soal telat nggak telat dan halal-haram aku sadar (adikku mati-matian memaksaku nulis “pingsan kalii?” di antara tanda kurung ini) hadir di dunia maya memang membutuhkan kesiapan mental. Ada ruang luas tak terbatas. Dunia tanpa norma dan konsekuensi, tempat moralitas hanya dipercayakan kepada kesadaran setiap pribadi. Norma apa yang harus dijaga kalau tidak ada konsekuensi yang perlu diperhitungkan? Cekal IP? Pembekuan akun? Di dunia maya semua orang yang dihukum mati bisa reinkarnasi. Kembali dengan sosok yang lain dengan kesadaran baru, atau jadi arwah penasaran yang setiap saat siap melampiaskan dendam kesumat.
Kata Mas Seto (kakakku yang bilang aku mirip Dian Sastro), kalau mau norma dan konsekuensi, ya hadir saja sebagai diri sendiri. Kan sudah ada undang-undang Informasi dan Komunikasi! Bener juga sih, tapi itu kan berarti aku harus behave myself. Nggak bisa katarsis dong! Soalnya, terus terang saja salah satu alasan utamaku nyemplung di jagad maya ini adalah supaya bisa memuntahkan isi perut kalau mualnya sudah nggak tertahankan (wueek!!!). Destruktif? Nggak! Dunia maya adalah pabrik recycle gagasan seperti pabrik pupuk di dunia nyata: mengubah kotoran, yang di perut sapi jadi racun, menjadi pupuk, yang di sawah jadi penyubur. (Kata Savitri, adikku yang bilang aku mirip Sandra Dewi: kuno! Sekarang, mana ada pabrik pupuk dari tai sapi?)
Selain bilang analogiku sudah out of date, adikku yang pikirannya sering “nylewah” itu menambah beban lain: aku harus menampilkan wajahku. Nama facebook jadi kehilangan relevansi gara-gara orang-orang yang menampilkan gambar pemandangan atau wayang semar di foto profil mereka. Begitu katanya. Padahal, untuk memamerkan tampangku kepada umat manusia di dunia, aku nggak cukup pede. Ada kenang-kenangan dari si cacar air masa kecil yang saking sayangnya sama aku, nggak mau pergi tanpa meninggalkan souvenir: sebuah lubang kecil di bawah sudut mata sebelah kanan. Ambil dari angle kiri? Nggak bisa juga. Ada bekas luka yang nggak mau hilang di atas ujung alis sebelah kiri. Kalau yang ini kenang-kenangan dari si “gita“ cinta dari SMA, yang grogi mboncengin aku pertama kali, terus nabrak anak SMP yang lagi enak-enak naik sepeda: sori ya dik!
Opini adik-kakakku yang bilang aku mirip Dian Sastro dan Sandra Dewi sama sekali nggak mengurangi minderku. Pertama, pendapat mereka nggak steril dari subjektifitas. Kalau percaya pada anggota keluarga untuk masalah-masalah seperti ini, aku mestinya harus lebih ge-er lagi: kata ibuku, aku adalah mahluk Tuhan paling cantik di seluruh dunia sepanjang masa. Tapi bagaimana aku mau percaya kalau kepada adikku ternyata ibu bilang begitu juga? Kedua, mereka sama-sama ngeyel mempertahankan pendapatnya. Padahal nggak mungkin mereka benar semua, karena Dian Sastro sama sekali nggak mirip Sandra Dewi. Artinya kalau Mas Seto benar, berarti Savitri salah. Kalau Savitri benar, berarti Mas Seto salah. Nah, bagaimana kalau kedua-duanya salah? Padahal itu mungkin sekali terjadi, karena ketika suatu saat adikku minta pendapat golongan tua (ustadzahnya di Islamic Boarding School), beliau malah bilang aku mirip Alya Rohali!!.
Sebenarnya, soal foto bagiku bukan sekedar masalah tampang. Minderku sebenarnya juga bukan karena itu. Kalau yang seperti aku harus minder, terus yang seperti apa yang boleh pede? (Dosa nggak ya, bersombong ria di dunia maya?) Masalahnya sebenarnya kembali ke identitas diri. Sosok seperti apa yang ingin aku tampilkan: diriku yang utuh telanjang (ma’af, mengecewakan: telanjang di antara tanda kutip) atau sebuah citra, seperti wayang yang tampil di kelir tidak lewat sosoknya tapi
sekedar bayangannya.
Akhirnya kuputuskan, biarlah aku tampil seperti wayang saja. Meskipun cuma bayangan, tapi memiliki lekuk-liku tubuh yang sama dengan sosoknya. Bagi orang yang sama sekali asing, mungkin sulit untuk mengidentifikasi. Tapi bagi yang sudah mengerti sangat gampang mengenali Dewi Ratih, meskipun hanya lewat sebentuk bayangan hitam di antara belasan bayangan hitam lainnya.
Mas Seto membantuku dengan sebuah gambar: fotoku yang sudah di edit (poster edges, film grain, dan cut out: jurus-jurus awal para pendekar pemula photo to cartoon converter). Boleh juga (meskipun aku bisa bikin yang lebih bagus lagi. Hehe..soriii). Luka kenangan cinta pertama dan souvenir si cacar air jadi nggak nampak lagi. Dan yang penting, Savitri nggak bisa protes. Nggak ada yang bisa bilang kalau ini bukan gambar wajah. Meskipun masih nggak cocok dengan frasa “foto profil”, tapi jelas relevan dengan “face”book.
Wajah sudah,sekarang tinggal nama. Padmi, memang termasuk nama pemberian ortu (“termasuk”, karena mana mungkin ortuku memberiku nama sependek itu). Meskipun saat ini sudah hampir nggak ada orang yang memanggilku Padmi, tapi pernah di suatu masa ada sebuah lingkungan yang semua orangnya memanggilku dengan nama itu. Teman-temanku SD SMP, terutama yang tinggal di sebuah pedukuhan kecil dekat markas tentara yang besar angker tapi jadi tempat main kami di sebuah kota pesisir yang udaranya harum oleh aroma teh dan melati, pasti masih bisa mengingat aku. Ya, aku Padmi. Itu Padmi. Lalu Ken? Kutemukan dalam ceceran buku-buku Bapakku yang nggak lengkap lagi karena dipinjam semua orang dan nggak semua kembali. Buku cerita silat (SILAT?!?!? ya! Silat. Tenang saja, anda tidak sendiri. hampir semua orang sekaget itu waktu mendengar pertama kali) karya SH Mintardja, yang kalau nggak salah berjudul “Panasnya Bunga Mekar”. Nama Jawa kuno. Tapi nggak juga. Waktu aku kuliah, dosen Bahasa Indonesiaku yang cantik itu juga bernama Ken. Ken Padmi imajiner jaman Singasari itu cantik. Dosenku itu juga cantik. Mungkin dengan tambahan Ken di depan namaku, aku bisa masuk ke dalam barisan mereka. Mungkin? Pasti! (Istighfar, Padmi!… dosa lho! Sejak kapan bersyukur jadi dosa? Tapi baiklah: Astaghfirullahal ‘adhiiim.)
Pengen bukti?
Mungkin anda bisa mempertimbangkan pendapat dua saudaraku itu. Kebetulan kakakku yang lagi getol-getolnya berlatih menggunakan pusaka Kiai Photoshop ternyata juga memposter edges-film grain-cut out foto-foto Dian Sastro, Sandra Dewi, dan Alya Rohali. Waktu aku protes kenapa semua cuma pas wajahnya saja, dia bilang kalau diambil sekepala, yang pertama kelihatan malah bedamya: aku berjilbab, mereka bertiga berkerudung rambut indah mereka. Kalau dia berhasil memaksaku memajangnya di dinding ini, anda bisa melihatnya di situ. Anda bahkan bisa menjadi juri (anda pasti bisa mengenali siapa yang mana) siapa yang menurut anda benar: kakakku, adikku, atau ustadzahnya?
He..he..he…
(xi..xi..xi, kata sedulurku di padepokan seberang kali progo).

Oke, salam kenal.
Ma’af, dan terimakasih.
Oh iya, ini gambarnya.

Ken Padmi Dian sastro Sandra Dewi Alya Rohali

Ken Padmi Dian sastro Sandra Dewi Alya Rohali